Jakarta - Prasasti Sangguran yang dibuat pada tahun 928 Masehi adalah surat keputusan Raja Dyah Wawa yang memberikan status otonomi khusus pada Desa Sangguran, sekarang merupakan wilayah Kota Batu, Jatim. Namun mengapa harus ada kalimat kutukan dalam prasasti yang kini telantar di pekarangan rumah bangsawan Inggris, Lord Minto?
"Suatu desa yang ditetapkan menjadi sima (diberikan stasus otonomi khusus) tidak bisa diganggu gugat kemerdekaannya. Sekali desa itu ditetapkan menjadi sima, maka dia akan abadi sepanjang zaman. Jadi sampai ke akhir zaman, dia tak boleh berubah statusnya," jelas Dr Hasan Djafar, arkeolog dan sejarawan yang membaca dan menerjemahkan ulang salinan Prasasti Sangguran yang tersimpan di Instituut Kern, Rijksuniversiteit Leiden, Belanda di bawah bimbingan arkeolog Belanda JG de Casparis.
Hasan menyampaikan hal itu saat berbincang dengan detikcom di Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) di Jl Nangka, Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Kamis (12/2/2015).
Menurutnya, kutukan atau sumpah serapah itu adalah sanksi paling keras pada zaman kerajaan Mataram Kuno di bawah Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga, nama panjang Raja Dyah Wawa. Sanksi itu untuk menjamin peraturan raja yang sudah dituangkan dalam surat keputusan berbentuk prasasti itu bisa dilaksanakan dengan lestari.
"Sumpah serapah itu dibuat untuk sanksi hukum, supaya terjamin kelestarian sima. Ini diberlakukan bagi warga desa, para pejabat desa yang melanggar peraturan itu. Misalnya tak bayar pajak, atau untuk pejabat kerajaan yang tetap memungut pajak, orang yang mencurangi pajak dan orang-orang yang akan mengganggu," imbuh alumni arkeolog Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun 1975 ini.
Nah, mengapa tak memakai hukuman fisik seperti dicambuk, dipukul dan semacamnya? Menurut Hasan, zaman dulu sanksi moral seperti kutukan sudah cukup membuat warga Mataram kuno takut melakukan pelanggaran.
"Sanksinya, sanksi moral. Secra psikologis bisa mencegah sima dan prasasti, karena itu untuk kepentingan suci religi, keagamaan. Siapa yang mengganggu aturan itu, mengangkat batu itu, maka dalam prasasti itu dituliskan meminta bantuan dewa hingga dedemit supaya kena tuah. Kan dituliskan 'siapa yang mengganggu maka bunuhlah ia Hyang, harus dibunuh, pangkas mulutnya, hancur leburlah'," tutur Hasan, yang juga dosen sejarah di Unindra ini. Next
Indonesia jadi surga pelaku pedopilia dunia. Saksikan di program "Reportase Sore" TRANS TV Senin sampai Jumat pukul 16.45 WIB
(nwk/nrl)
Redaksi: redaksi[at]detik.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar